Ngobrol Pandemi, Hobi, dan Relasi

Tags

 

BENGKULU,eWARTA.co -- Menggeluti hobi memang bisa jadi salah satu opsi untuk menyenangkan diri sendiri, terlebih di masa “sulit” karena pandemi seperti hampir dua tahun belakangan ini. Ketika pikiran terus meronta-ronta minta liburan dan “jajan” online sembarangan, keadaan justru mengingatkan kita untuk tetap menjaga kesehatan.

Berbicara tentang kesehatan, bukan hanya persoalan kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Ada lagi kesehatan finansial, karir, bisnis, yang muaranya pada kesehatan relasi atau hubungan dengan orang lain. Jika bisa sekaligus menjaga semuanya, tentu akan lebih efisien. Kalau kamu tipe yang suka “paketan” begitu, pembahasan kali ini bisa jadi referensi.

Bersepeda, salah satu aktivitas yang tidak cuma baik untuk lingkungan karena non polutan, tapi juga mampu meningkatkan “kesehatan”. Hobi yang mendadak kembali happening di awal pandemi ini memang seolah menjadi life style baru di kalangan perkotaan. Namun, usut punya usut, kembalinya tren olahraga yang satu ini sebenarnya hanya membuka kembali memoar sebagian besar dari kita akan masa kecil yang bahagia.

Dulu, bersepeda bukan menjadi kegiatan olahraga yang “serius”. Seperti sekarang. Sebatas permainan tanpa helm, jersey, sepatu dan kaos kaki, apalagi smartwatch dan perlengkapan lainnya yang menunjang untuk dipakai. Bersepeda keliling kompleks pakai celana pendek dan sandal jepit bersama teman hanyalah aktivitas yang sekedar untuk bersenang-senang. Mungkin, hal inilah yang membuat vibes “bermain sepeda” masih tetap menjadi momen yang hangat dan menyenangkan.

Berbicara tentang hobi dan relasi, mungkin ada yang pernah baca tentang konsep psikologi klasik yang disebut dengan homiphily. Dari konsep ini diketahui bahwa, orang-orang yang memiliki kemiripan, mulai dari karakter sampai ke hobi, akan lebih mudah terhubung satu sama lain. 

Nyatanya, kemiripan ini bisa diprediksi dan mau tak mau harus bisa dimanipulasi dalam proses bisnis. Pernah mendengar teori penetrasi sosial oleh Altman dan Taylor (West & Turner, 2008)? Dalam teori ini, mereka bersepakat bahwa relationship development dapat terjadi utamanya melalui self disclosure atau pengungkapan diri terlebih dahulu. Harus ada proses ikatan yang menggerakkan sebuah hubungan dari yang superfisial menjadi lebih intim. 

Hal ini dapat diwujudkan dengan proses komunikasi dan aktivitas temu fisik yang dilakukan bersama. Namun, sekarang dunia telah beubah. Sebenarnya dari dulu pun beubah-ubah. Baru drastis terasa ketika Covid-19 mampir, dan mungkin sekarang terlanjur nyaman menetap di Indonesia.

Situasi berubah, kebiasaan pun harus beubah. Cara manusia bertahan hidup, berkomunikasi, dan menjalin relasi pada akhirnya juga harus beubah. Mari kita ambil contoh tentang bagaimana kegiatan bersepeda saat ini bukan lagi sekedar kegiatan “bersenang-senang” namun, bisa menjadi aktivitas pertemuan bisnis yang “serius”. Persis seperti apa yang saya sampaikan.

Perubahan pola komunikasi pasca pandemi, seperti minimalisasi pertemuan di ruang tertutup, dan digantikan ruang virtual, rasanya secara alamiah mengharuskan manusia untuk menciptakan model penetrasi sosialnya yang baru. Membuat pertemuan dengan mitra bisnis dengan dalih berolahraga, ataupun kegiatan luar ruang lainnya, semakin menjadi opsi. Mengajak mitra ataupun rekan bisnis bergabung dengan komunitas hobi olahraga yang sama, membuat kita bisa tetap membicarakan pekerjaan, namun dengan cara yang lebih fun dan menyehatkan.

Sama-sama kita ketahui, kadang kegiatan professional juga membutuhkan kedekatan emosional agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Pernyataan ini semakin masuk akal saat ini, karena kadang kesepemahaman dan kepercayaan itu baru bisa dilihat ketika satu sama lain telah menjalin komunikasi dan terlibat aktivitas temu fisik yang sedari tadi kita bahas.

Tunggu dulu, dalam prosesnya, memahami Teori Penetrasi Sosial Altman dan Taylor juga menunjukkan bahwa komunikasi dan aktivitas temu fisik bukan hanya mampu membangun relasi. Namun, juga dapat menjadi filter bagi kita untuk menemukan mitra bisnis ataupun menjalin relasi yang betul-betul sefrekuensi. Simpelnya, apa yang kita harapkan terjadi ketika melakukan komunikasi dengan pendekatan hobi, bermain sepeda misalnya, tidak lain adalah proses pengungkapan diri atau self disclosure. 

Kita bisa fokus memanfaatkan momen untuk mempelajari mitra ataupun rekan bisnis yang nantinya akan menentukan relationship development seperti apa yang akan terbangun selanjutnya. 

***

Vellia Paranta, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Bengkulu